Malay dialects of the Batanghari river basin (Jambi, Sumatra)
Sejak zaman kerajaan Melayu dan Sriwijaya pada abad ke-7 dan beberapa abad kemudian orang Melayu di Sumatera Tenggara menguasai hubungan perdagangan antara India dan China. Tetapi bahasa yang dituturkan oleh cucu cicit mereka pada hari ini masih belum diteliti dengan baik, dan menjadi fokus perdebatan yang tiada gunanya. Tesis ini mendokumentasikan penuturan orang Jambi, yaitu sejuta orang Melayu yang tinggal di lembah Sungai Batanghari di Propinsi Jambi, Pulau Sumatera, Indonesia. Tesis ini dijanakan oleh hipotesis Bronson (1977) bahawa, di pelbagai tempat di Asia Tenggara, lembah sungai menjadi kerangka penting untuk memahami sejarah daerah itu. Oleh itu, metode pemetaan dialek dan juga metode linguistik sejarawi digunakan untuk memetakan dialek-dialek Melayu yang wujud sekarang di lembah Sungai Batanghari dan untuk membuktikan hubungan sejarah antara daerah-daerah yang berbahasa Melayu. Enam belas buah tempat diperiksa, iaitu dua buah kampung di hilir dan empat belas di hulu, dan kosa katanya dicatat melalui daftar kosa kata dan perekaman cerita. Bahan-bahan ini dianalisa dengan memakai metode linguistik sejarawi yang bersandarkan rekonstruksi yang sudah ada, seperti Bahasa Melayik-Purba yang direkonstruksi oleh Adelaar (1992). Inovasi-inovasi fonologi dalam enam belas isolek ini disajikan, dan penulis ini berusaha mempertimbangkan kepentingan setiap inovasi tersebut untuk klasifikasi dialek. Inovasi-inovasi isolek Jambi juga dibandingkan dengan inovasi isolek Melayu yang di luar lembah Batanghari, contohnya Minangkabau, Kerinci, Kubu, Rawas dan Serawai. Disimpulkan bahawa terdapat setidaknya enam buah dialek Melayu di lembah Batanghari: Pesisir (mungkin hubungannya erat dengan dialek Melayu Riau), dialek Jambi Ilir yang dituturkan di daerah ibukota Jambi, dialek Jambi Ulu, dua dialek Kubu (Kubu Barat dan Kubu Timur) dan varian Penghulu, yang paling erat dengan Minangkabau.
While the Malays of southeast Sumatra, beginning with the kingdoms of Melayu and Srivijaya in the 7th century, long dominated the vital trade links between India and China, the speech of their modern-day descendants remains poorly documented and subject to needless controversy. This study is a documentation of the speech of orang Jambi, the approximately one million Malays who live in the Batanghari river basin of Jambi Province, Sumatra, Indonesia. Motivated by Bronson's (1977) hypothesis that, in much of Southeast Asia, river systems are a key interpretive grid for understanding the region's history, the techniques of dialect geography and the historical-comparative method are used to map the present-day Malay dialects in this river basin and to demonstrate historical relationships among various Malay-speaking areas. Sixteen areas, two downstream and fourteen upstream, were sampled and their core vocabulary recorded using wordlists and texts. These data are analyzed using the comparative method, relying heavily on past reconstruction efforts, most notably that of Proto-Malayic by Adelaar (1992). Phonological innovations for these sixteen varieties are presented, and an effort is made to weigh the relative significance of the various innovations for the purposes of delineating dialects. The innovations in Jambi Malay varieties are also compared with those of neighboring speech varieties, such as Minangkabau, Kerinci, Kubu, Rawas and Serawai. It is concluded that there are at least six distinct Malay dialects in this area: Pesisir (Coastal) Malay (probably closely related to Riau Malay), a dialect labeled Jambi Ilir (Downstream) spoken in the capital area, a dialect labeled Jambi Ulu (Upstream) spoken in upstream areas, two Kubu dialects (Western and Eastern Jambi Kubu respectively) and a Penghulu dialect which classifies most closely with Minangkabau.
This monograph is a slightly revised version of a thesis submitted in fulfillment of the degree of Master of Letters at the Institute of the Malay World and Civilization, Universiti Kebangsaan Malaysia, in May 2003.